Bargaining Politik di Tepi Jurang

Oleh: Subhan Hi. Ali Dodego
Akademisi IAIN Ternate

  • “Modal yang harus dimiliki calon kepala daerah: pertama, modal intelektual. Kedua, modal jejaring sosial. Ketiga, modal ekonomi yang cukup/mapan” (R. Graal Taliawo, 2024).

Istilah ‘BARGAINING’ adalah kemampuan negosiasi untuk mencapai kesepakan antar pihak

Menilik diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komunitas Jarod pada 14 September 2024 dengan mengangkat tema “Pemilukada dan Wajah Maluku Utara ke Depan” membuat penulis tergelitik untuk membuat narasi kecil berjudul “Bargaining Politik di Tepi Jurang”.

Dalam diskusi tersebut menghadirkan empat calon gubernur Maluku Utara yaitu: Muhammad Kasuba, Aliong Mus, Benny Laos dan Husain Alting Syah. Namun, sampai acara diskusi publik selesai kandidat yang datang hanya Husain Alting Syah dan Basri Salama calon wakil gubernur Muhammad Kasuba. Sementara Benny Laos dan Aliong Mus tidak hadir. Selain menghadirkan para kandidat juga turut hadir para akademisi sebagai pembanding yaitu: Jubair Situmorang dan Margarito Kamis.

Dari pemaparan visi misi kedua kandidat gubernur menyoal berbagai macam problematika yang terjadi di Maluku Utara baik dari aspek pendidikan, infrastruktur, ekonomi, pertambangan, ibu kota provinsi di Sofifi dan sebagainya. Kemudian disanggah oleh kedua pembanding dari akademisi yang menurut catatan penulis mendapat koreksi dan kritik berkaitan dengan problem pendidikan, karakter, politisasi identitas, dan paling mendasar adalah problem krisis pemimpin atau pemerintahan.

Politik di Tepi Jurang

Berpijak dari hasil diskusi di atas penulis memberikan pemikiran banding. Dari uraian dan penjelasan kritis para kandidat dan akademisi tentang problematika dan ketimpangan pembangunan di Maluku Utara, ada satu hal yang luput dari kita yaitu soal modal yang harus dimiliki oleh calon kepala daerah baik pada level gubernur maupun bupati.

Pertama, modal etika. Tentu kita sepakat bahwa setiap pemimpin harus memiliki modal etika yang baik. Menjadi pemimpin berarti menjadi role model, suri teladan, panutan bagi orang yang dipimpinnya. Sehingga etika menjadi nilai (value) yang harus menjadi pondasi utama dalam setiap kepemimpinan. Perilaku masyarakat adalah manifestasi dan cerminan dari perilaku pemimpin jadi siapa saja yang bercita-cita jadi pemimpin kepala daerah maka dia harus meng-etikakan dirinya terlebih dahulu baru kemudian mengurusi hajat hidup orang banyak.

Kedua, modal intelektual. Intelektual atau kecerdasan seorang pemimpin menjadi pondasi kedua. Seorang pemimpin akan dihadapkan dengan berbagai macam persoalan baik yang bersifat domestik maupun publik. Kecerdasan seorang pemimpin tidak hanya pada aspek intelektual saja, tetapi lebih dari itu yaitu kecerdasan emosional dan spiritual. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan problem solving dalam mengambil keputusan yang adil dan bijaksana.

Ketiga, modal jejaring sosial. Seorang pemimpin harus memiliki kemampuan jejaring sosial. Yang dimaksud dengan kemampuan jejaring sosial ini yaitu jejaring sosial yang sampai pada akar rumput, seorang pemimpin harus dekat dengan rakyatnya. Pemimpin harus memastikan rakyatnya tidak kelaparan, karena dia ditugasi menjadi pelayan rakyat. Selanjutnya, pemimpin harus mempunyai kapasitas jejaring sosial pada level nasional. Yang tentu sesuai dengan bidang pekerjaannya. Semakin banyak akses komunikasi yang dibuka di tingkat pusat, maka potensi jejaring sosial akan semakin terbuka lebar dan ini berdampak terhadap kepentingan dan kemajuan daerah.

Keempat, modal ekonomi yang cukup/mapan. Kemampuan ekonomi yang mapan menjadi modal besar bagi setiap calon kandidat kepala daerah. Ketidakcukupan dan ketidakmapanan ekonomi calon kepala daerah ini akan berdampak buruk sebelum dan sesudah pemilihan ketika dia sudah menjadi kepala daerah. Sebelum pemilihan dia akan sibuk mencari para donator atau funding dana baik dari para pengusaha, politisi dan para oligarki untuk menyokong dana konsolidasi politiknya. Bahkan boleh jadi dia akan memanfaatkan jabatannya untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya.

Inilah yang penulis sebut sebagai bargaining atau manuver politik di tepi jurang kehancuran. Kandidat yang terpilih atas sokongan dana dari para pengusaha, politisi, dan oligarki tidak akan menjadi pemimpin merdeka. Dia akan selamanya tersandera dalam kepemimpinannya. Karena selain modal politik yang telah dipinjam harus dikembalikan juga ada perjanjian misalnya proyek pemerintah harus dikerjakan oleh para pemberi dana politik. Akhirnya kekayaan hanya dinikmati oleh segelintir orang saja. Kalau mental para calon pemimpin kita di Maluku Utara seperti ini maka tidak mustahil kita akan tetap menjadi miskin di negeri yang kaya ini.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

News Feed